Kamis, 15 Juli 2010

Seni Instalasi: Indonesia Berlayar di Lautan Sampah

Oleh ADI SUCIPTO KISSWARA
Bendera Merah Putih dikibarkan setengah tiang. Sebuah kapal berada di lautan sampah. Bangsa ini bukan sekadar berkabung, tetapi bisa sengsara berkepanjangan akibat terkepung sampah di mana-mana. Apabila sampah tidak dikelola secara bijak sejak dini dan pembangunan kawasan tidak berwawasan lingkungan, bukan tidak mungkin negeri ini tenggelam dalam lautan sampah.

Kritik itulah yang dilontarkan siswa SMA Nahdlatul Ulama 1 (Smanusa) Gresik melalui karya mereka saat menggelar pameran seni instalasi Art from Rubbish and Effluent. Pameran seni instalasi itu mengangkat tiga tema: “Indonesia Berlayar di Lautan Sampah”, “Bumi 100 Tahun Lagi”, dan “Dunia Bayangan”.

Pameran itu menggunakan tiga ruangan. Di ruang Indonesia Berlayar di Lautan Sampah digambarkan kondisi Indonesia. Indonesia mengalami kerusakan alam sangat parah, antara lain menumpuknya sampah di mana- mana.

Kondisi itu digambarkan dalam bentuk bukit sampah. Indonesia ibarat kumpulan pulau yang terombang-ambing di atas kumpulan sampah. Hal itu tergambar lewat miniatur kapal yang terapung di atas bukit sampah. Masih sedikit orang yang memanfaatkan sampah menjadi karya bernilai ekonomis.

Di dinding ruangan itu juga dipasang gambar rancangan permukiman peduli lingkungan. Selain itu, dipasang pula contoh-contoh pemanfaatan bahan limbah untuk berbagai bahan bernilai seni dan ekonomis.
Tema Bumi 100 Tahun Lagi divisualisasikan dengan topeng-topeng sebagai gambaran dan ekspresi rakyat ketika teknologi merajai segala aspek kehidupan. Kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan kemudahan, tetapi di sisi lain merupakan bentuk penjajahan. Manusia menjadi tidak ada artinya. Perannya tergantikan robot dan semua perangkat teknologi.

Lazuardi Kris M, siswa kelas X/1, menuturkan, peran manusia tergantikan robot-robot saat manusia mendewakan teknologi. Maka, manusia tidak ada gunanya. “Semua kehidupan dikendalikan teknologi. Manusia menjadi budak teknologi dan tidak bisa melawannya,” tuturnya.

Kondisi masyarakat tertindas teknologi dilukiskan dalam gambar- gambar tempelan berbentuk topeng berserakan. Sementara teknologi digambarkan berbentuk robot, alat komunikasi, dan mesin. Dewa teknologi terlihat pongah di singgasananya.

Dunia bayangan
Masih dengan memanfaatkan berbagai tumpukan sampah, siswa Smanusa Gresik menyulap satu ruangan menjadi media kritik sosial. Tumpukan sampah terlihat menyesakkan dada, tetapi bayangan di belakangnya terlihat indah. Hal itu menunjukkan tumpukan sampah telihat indah dan memesona apabila hanya berbentuk bayang-bayang. Sejatinya, sampah tetap meresahkan dan tidak enak dipandang mata.

Zayang, siswa XI IPS 9 yang membuat tumpukan sampah sebagai karya seni berjudul Sang Petualang, ingin menggambarkan segala rintangan akan dilalui manusia sampai menggapai ujung cita-citanya. Segala rintangan tidak akan terasa apabila dilaksanakan dengan pikir dan zikir. “Dengan pikir, cita-cita terukir. Dengan zikir, keberhasilan tidak pernah berakhir,” ucapnya.

Selain Sang Petualang, dalam seni bayangan ditampilkan Introspeksi, Lari dari Hutan, Kapal Relawan Korban Israel, dan Hutan Beton. Dalam Introspeksi terlihat orang merenung, berkaca diri. Pada Hutan Beton terlihat bayangan gedung-gedung pencakar langit. Tidak terlihat lagi keindahan tumbuhan yang menghijau. Semua padat rapat menjadi bangunan-bangunan tinggi menjulang terbuat dari beton.

Kreasi siswa Smanusa memanfaatkan kertas koran, limbah plastik, daun, dan kain bekas patut diapresiasi. Mereka tidak menginginkan Indonesia tenggelam dalam lautan sampah. Mereka generasi yang resah ketika manusia terjajah teknologi. Mereka menginginkan tidak ada tumpukan sampah. Mereka berharap tumpukan sampah hanya bayang-bayang, bukan kenyataan. Tentu saja angan-angan itu terwujud apabila bangsa ini peduli pada lingkungan dan pengelolaan sampah. (Kompas )